Untuk Komunitas Guru Penulis -
(BISA)
MENULIS BUKAN FAKTOR KETURUNAN
Teman-teman,
Melihat antusiasme untuk kembali
menghasilkan karya yang saya simpulkan “positif”, dan melihat beberapa teman
baru yang sekarang ini menambah anggota keluarga kita. Maka izinkan saya untuk
sedikit menyampaikan tentang bagaimana kita membangun pikiran kita agar yang
merasa tak mampu menulis atau yang merasa tak punya bakat menulis terpacu
semangatnya. (Kita sama-sama belajar yaa…!)
Dalam beberapa kesempatan, saya selalu
sampaikan, bahwa menulis itu bisa dipelajari. Siapapun yang bilang bahwa
menulis (fiksi) tidak bisa dipelajari maka mereka termasuk golongan yang suka
termakan berita hoax…(Hiks,,) Inspirasi memang tidak bisa dipelajari, tetapi
teknik menulis tentulah bisa. Teknik menulis merupakan sejenis keahlian, ia
hanya butuh kita mau untuk terus berlatih, sehingga merasakan lebih kurangnya,
lalu kita akan menjadi terampil. Tidak ada bedanya dengan—katakanlah kita
mengajar, memasak, membatik, maupun menggambar. Jadi semua hanya berawal dari
NIAT dan TEKAD.
Dalam
mengajar, beberapa orang memiliki keahlian lebih, karunia itu suatu sifat alami
yang dapat membentuk proses pembelajaran kita di kelas menjadi menyenangkan,
tidak membosankan, bermakna, dan dirindukan oleh murid-murid kita. . Namun,
orang yang punya kelebihan itu bukan satu-satunya orang yang bisa mencapai
tujuan pembelajaran. Sama halnya dengan dunia
tulis menulis. Semua orang bisa mengahsilkan tulisan yang baik, merangkai kata
dengan baik, jelas, dan bahkan terstruktur. Bahkan, tulisan tersebut juga
bisa ‘bercerita’. Tulisan yang bisa membuat orang lain ingin membacanya
kembali, dan menunggu cerita-cerita selanjutnya.
Mari
kita bersama belajar, bagaimana agar kita bisa menghasilkan sebuah tulisan
fiksi pertama kita dengan riang tanpa beban, namun hasilnya dirindukan. Beberapa
point utama yang harus kita ingat adalah :
1.
Menulis dari hati/bebas
Teknik
menulis seperti ini merupakan cara termudah agar kita larut dalam lautan kata
dan ide. Beberapa orang nyaman menulis tanpa kerangka, namun jika kita bukan
termasuk salah satu dari orang tersebut maka mulailah menulis dengan menyusun
outline. Dan yang tak kalah penting adalah, menulislah karena memang ingin
menulis, bukan karena mengikuti keinginan khalayak, karena ingin mengikuti
trend, atau bahkan menulis hanya karena ingin menyelesaikan kewajiban. Di
jamin, energy dan semangatnya lambat laun akan hilang jika semua telah kita
raih.
2. Mulai
dari Cerita Pendek Sederhana
Beberapa
penulis fiksi berangkat dari menulis cerita pendek. Dan bahkan kita yang ada di
sini, berangkat dari puisi sederhana yang tak menganut banyak aturan
kepenulisan. Para penulis pada mulanya menulis beberapa lembar prosa pendek,
lalu mereka kembangkan dalam format yang lebih panjang, seperti cerita
bersambung, bahkan novel. Yang perlu diketahui sebelum menulis adalah aturan
dasar yang harus di penuhi dalam menulis fiksi seperti adanya alur, latar,
sudut pandang, dan penokohan.
3. Karakter
Dalam
menulis fiksi, kita perlu mengenal karakter tokoh kita sendiri. Deskripsikan
fisiknya, sifatnya, hal yang disukai dan tidak disukai, pendidikannya,
pekerjaannya, kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada tokoh karakter yang sempurna.
Kesemua hal tidak perlu di narasikan, namun bisa disampaikan lewat tindakan
tokoh atau interaksinya dengan tokoh yang lain.
4. Setting
atau Latar
Latar
akan menentukan segala situasi dalam cerita kita. Setiap cerita membutuhkan
latar agar cerita menjadi hidup. Entah itu latar imajiner atau fakta, dan akan
seperti apa latar itu dibangun, latar tetap harus ada. Latar bisa dibangun
mengunakan narasi atau dialog.
5. Sudut
Pandang dan Dialog
Sudut pandang yang
biasa dipakai dalam menulis fiksi adalah sudut pandang orang pertama dan
ketiga.
SP 1, tokoh aku akan banyak bercerita, ia menjadi narator sekaligus pemantau jalannya sebuah cerita. Namun ia hanya mampu mengisahkan apa yang dia saksikan.
SP
3, narator atau penulis akan selalu memakai kata ganti orang ketiga atau
menyebut nama tokoh. Dengan memakai sudut pandang orang ketiga ini, kita dapat
melihat dari berbagai sudut, dan tidak hanya dari pandangan “aku”.
Dialog
juga berperan ketika kita memutuskan suatu sudut pandang. Kita harus
merangkainya seteliti mungkin, karena jika ada yang berubah SP-nya, maka akan
jadi fatal. Pembaca akan mengalami kebingungan.
Sudahkah kita dewasa ?
BalasHapusSelengkapnya bisa dibaca di
https://opini29.blogspot.com/2020/01/sudahkan-kita-dewasa.html